PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an dan sunnah shahih itu telah mengisahkan tentang salah satu dari hukum syar’i, yang di syari’atkan Allah SWT kepada umat yang telah dahulu dari kita. Ada hal-hal dan nash-nash yang disampaikan kepada Nabi SAW juga oleh Tuhan telah disampaikan kepada umat-umat dahulu kala. Ada hal-hal yang tidak berbeda menurut apa yang disyari’atkan kepada kita berupa peraturan-peraturan yang wajib kita ikuti. Al-Qur’an dan sunnah telah memisahkan salah satu diantara hukum ini dalil syar’i, ditegakkan untuk mencabut dan membuangnya. Dalam hal ini tidak ada perbedaan. Tidak disyri’atkan kepada kita kalau tidak dengan dalil nashih. Setelah Rasul wafat, yang memberikan fatwa kepada orang banyak pada waktu itu ialah jema’ah Sahabat atau yang disebut dengan syar’u man qablana dan mazhab shahabat. Mereka itu mengetahui fiqih ilmu pangetahuan dan apa-apa yang biasa yang disampaikan oleh rasul. Memahami Al-Qur’an dan hukum-hukumnya. Inilah yang menjadi sumber dari fatwa-fatwa dalam bermacam-macam masalah yang terjadi. Makalah ini akan menguraikan tentang hakikat syar’u man qablana dan mazhab sahabat, yang mencakup pengertian, macam-macam, kehujjahan, dan lain sebagainya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Definisi dari Syar’u Man Qablana dan Pendapat Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana?
2. Apa macam-macam dari Syar’u Man Qablana ?
3. Bagaimana definisi dari Mazhab Shahabat ?
4. Bagaimana Kehujjahan dari Mazhab Sahabat
BAB II
PEMBAHASAN
1. Syar’u man Qablana
A. Pengertian Syar’u man Qablana
Syar’u man qablana adalah syari’at sebelum kita yaitu syari’at hukum dan ajaran-ajaran yang berleku pada para nabi ‘alaihin ash –shalat wa-salam sebelum nabi Muhammad SAW. Diutus menjadi rasul seperti syari’at nabi Ibrahim, nabi Daud, nabi Musa, dan nabi Isa. Para ulama menjelaskan bahwa syari’at sebelum kita ialah hukum-hukum yang telah disyari’atkan untuk umat sebelum kita yang dibawa oleh para nabi dan rasul terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat sebelum adanya syari’at nabi muhammad. Para ulama berbeda pendapat tentang syar’u man qablana terutama ulama Hanafiyah, ulama Malikiyah, sebagian ulama syafiyah, dan sebagian ulama Hanabilah berpendapat bahwa syar’u man qabana berlaku pada umat islam, jika syari’at tersebut diinformasikan melalui rasullullah SAW bukan terdapat dalam kitab-kitab suci mereka yang telah mengalami dan tidak terdapat nash syara’ yang membantahnya. Dasar pendapat mereka ialah:
a.Firman Allah pada surat al –an’am ayat 90 :
Artinya: “Mereka Itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran)." Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat.”
b.Firman Allah pada surat an –nahl ayat 123:
Artinya: “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan.” Sedangkan para ulma ushul fiqih sepakat bahwa syri’at sebelum kita (islam) yang dicantumkan didalam al-qur’an adalah berlaku bagi umat islam apabila ada ketegasan bahwa Syari’at itu berlaku bagi umat nabi Muhammad SAW. Namun karena berlakunya itu bukan karena kedudukannya sebagai syari’at sebelum islam tetapi karena ditetapkan dalam al-qur’an. Misalnya puasa ramadhan yang diwajibkan kepada umat islam adalah syari’at sebelum islam. Seperti dalam al-qur’an surat al-baqarah ayat 183 : Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Tetapi ulama ushul fiqih juga berbeda-beda pendapat tentang hukum-hukum syari’at nabi terdahulu yang tercantum dalam al-qur’an , namn tidak ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu masih berlaku bagi umat islam dan tidak pula ada penjelasan yang membatalkan. Misalnya persoalan hukum qishas (hukuman setimpal ) dalam syari’at nabi Musa yang dicertakan dalam al-qur’an surat Almaidah ayat 45 : Artinya: “ Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” Syar’u man qablana dapat dibagi kedalam 3 kelompok :
1. Syari’at tedahulu yang terdapat kedalam al-qur’an atau penjelasa yang disyari’atkan untuk umat sebelum nabi Muhammd dijelaskan pula dalam al-qur’ana atau hadist nabi bahwa yang demikian telah dinasakh dan tidak berlaku lagi bagi umat nabi Muhammad. Firman Allah dalam surat al-an’am ayat 146 :
Artinya : “Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku dan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan Sesungguhnya Kami adalah Maha benar.”
2. Hukum-hukum dijelaskan dalam al-qur’an maupun hadist nabi disyari’atkan untuk umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat nabi Muhammad dan dinyatakan berlaku untuk selanjutnya. Firman Allah dalam surat al-baqarah ayat 183: Artinya : “Hai orang-orang yang berima, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”3. Hukum-hukum disebutkan dalam al-qur’an atau hadist nabi dijelaskan berlaku untuk umat sebelum nabi Muhammad, namun secara jelas tidak dinyatakan berlaku untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah dinasakh. Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 45 :Artinya: “ Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”
B. Ketetapan Syar’u Man Qablana Dalam Penetapan Hukum
Pendapat para ulama adalah sebagai berikut :
1. Jumhur ulama Hanafiyah dan Hanabilah dan sebagian syafi’ah dan malikiyah serta ulama Asy ‘ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa hukum-hukum syara’ sebeum kita dalam bentuk ketiga tersebut tidak berlaku untuk kita [umat nabi Muhammad] selma tidak dijelaskan pemberlakuannya untuk umat nabi Muhammad.
2. Sebagian sahabat abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian sahabat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan bahwa hukum-hukum yang disebutkan dalam al-qur’an atau sunnah nabi meskipun tidak diharamkan untuk umat nabi Muhammad selama tidak ada penjelasan tentang nasakhnya, maka berlaku pula untuk umat nabi Muhammad.
Jadi Syar’u man qablana berlaku bagi kita, apabila syari’at tersebut terdapat dalam al-qur’an dan hadist-hadist yang shahih dengan alasan :
a. Dengan tercantumnya syar’u man qablana pada al-qur’an dan sunnah yang shahih, maka ia termasuk dalam syari’at samawi.
b. Kebenarannya dalam al-qur’an dan sunnah tanpa diiringin dengan penolakan dan tanpa nasakh menunjukkan bahwa ia juga berlaku sebagai syari’at nabi Muhmmmad.
c. Sebagai implementasi dari pernyataan bahwa al-qur’an membenarkan kitab-kitab taurat dan injil.
2. Madzhab Shahabi
A. Pengertian Madzhab Shahabi
Madzhab Shahabi berarti “pendapat para sahabat Rasulullah SAW. Yang dimaksud dengan Madzhab Shahabat(pendapat sahabat) ialah pendapat para sahabat yang tentang suatu kasus yang dinukil para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadits tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut. Disamping belum adanya ijma para sahabat yang menetapkan hukum tersebut. Persoalan yang dibahas oleh para ulama ushul fiqh adalah, apabila pendapat para sahabat itu diriwayatkan dengan jalur yang shahih, apakah wajib diterima, diamalkan, dan dijadikan dalil?
Setelah Rasulullah wafat, maka tampilah untuk memberi fatwa kepada umat Islam dan membentuk hukum untuk mereka, kelompok dari sahabat yang telah mengenal fiqh dan ilmu, dan merekalah yang telah lama mempergauli Rasulullah dan telah memahami Al-Qur’an serta hukum-hukumnya. Dari mereka pula telah keluar beberapa fatwa mengenai beberapa macam peristiwa. Sebagian para tabi’in di antara para tabi’in dan tabi’in-tabi’in telah telah memeperhatikan periwayatannya, sehingga diantara mereka ada yang mengkondifikasikannya bersama sunah-sunah Rasul.
Ringkasan pembicaraan dalam judul ini, adalah bahwasanya tidak ada perselisihan mengenai ucapan sahabat dalam hal yang tidak bisa terjangkau oleh pendapat dan akal sebagai hujjah bagi umat Islam, karena ucapan itu tidak boleh tidak diucapkan karena mendengar dari Rasul, seperti ucapan Aisyah r.a.: “Tidaklah berdiam kandungan itu dalam perut ibunya lebih dari dua tahun, menurut kadar ukuran yang dapat mengubah bayangan alat tenun”.
Contoh ini tidak dapat menjadi tempat ijtihad dan pendapat, oleh sebab itu apabila hal tersebut sah, sumbernya adalah pendengaran dari Rasul, maka termasuk Sunnah, sekalipun pada lahirnya ialah dari sahabat.
Dan tidak ada perselisihan juga bahwa ucapan sahabat yang yang tidak diketahui dari kalangan sahabat lain adalah yang menentang, adalah juga hujjah bagi umat Islam, karena kesepakatan mereka atas hukum menegani suatu peristiwa, dengan dasar atas dekatnya waktu mereka bertemu dengan Rasul dan atas dasar pengetahuan mereka terhadap rahasia-rahasia pembentukan hukum, juga atas dasar perselisihan mereka dalam beberapa peristiwa selain peristiwa tersebut, adalah sebagai dalil atas bersandar mereka kepada dalil yang pasti. Hal ini seperti ketika meraka telah sepakat atas pembagian waris kepada nenek-nenek perempuan dengan bagian 1/6 (seperenam), maka itu adalah hukum yang wajib diikuti, dan dalam masalah itu tidak diketahui ada perselisihan antara umat Islam.
B. Siapa yang disebut dengan Sahabat?
Yang dimaksudkan dengan sahabat, menurut ulama usul fiqh, adalah “seseorang yang bertemu dengan Rasulullah SAW. Dan beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup bersamanya dalam waktu yang panjang, dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah SAW., sehingga secara adat dinamakan sebagai sahabat. Adapula ulama yang mempersingkat identitas sahabat itu dengan “orang-orang yang bertemu dan beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Serta hidup bersamanya dalam waktu yang cukup lama.
C. Keadaan para Sahabat setelah Rasulullah SAW wafat
Setelah Rasulullah SAW. Wafat, tampillah para sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqh untuk memberikan fatwa kepada umat Islam dalam mebentuk hukum. Hal itu karena merekalah yang paling lama bergaul dengan Rasulullah SAW. Dan telah memahami Al-Qur’an serta hukum-hukumnya. Dari mereka pulalah keluar fatwa mengenai peristiwa yang bermacam-macam. Para mufti dari kalangan Tabi’in dan Tabi’it-Tabi’in telah memperhatikan periwayatan dan pentakwilan fatwa-fatwa mereka. Di antara mereka ada yang mengodifikasikannya bersama sunnah-sunnah Rasul, sehingga fatwa-fatwa mereka dianggap sumber-sumber pembentukan hukum yang disamakan dengan nash. Bahkan, seorang Mujtahid harus mengembalikan suatu permasalahan kepada fatwa mereka sebelum kembali kepada Qiyas. Kecuali kalau hanya pendapat perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan atas nama umat Islam.
D. Kehujjahan Madzhab Shahabi
Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa pendapat sahabat yang dikemukakan berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’, baik pendapat itu berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Sebaliknya, mereka sepakat bahwa pendapat para sahabat yang terkait dengan permasalahan yang tidak dapat dinalar logika atau ijtihad, dapat diterima sebagai hujjah. Kemudian, para ulama ushul fiqh juga sepakat bahwa ijma’ sahabat jelas, atau ijma’ sahabat yang tidak diketahui ada yang mengingkarinya dapat dijadikan hujjah, seperti kakek berhak menerima pembagian warisan seperenam harta yang ditinggalkan simayat (pewaris).
Persoalan yang menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan para ulama adalah pendapat para sahabat yang berdasarkan ijtihad semata-mata, apakah menjadi hujjah bagi generasi sesudahnya?
Ulama Hanafiyyah, Imam Malik, Qaul Qaddim Imam Al-Syafi’i dan pendapat terkuat dari Imam Hanbal, menyatakan bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujjah dan apabila pendapat para sahabat bertentangan dengan qiyas (analogi) maka pendapat sahabat didahulukan.
Alasan yang mereka kemukakan antara lain adalah firman Allah alam surat Ali-Imran,3: 110: yang artinya: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk menusia, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar…” menurut mereka, ayat ini ditunjukan kepada para sahabat. Kemudian dalam ayat lain Allah SWT juga berfirman, yang artinya “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka… {Q.S. Al-Taubah, 9: 100}.Dalam ayat ini, menurut mereka, Allah secara jelas memuji para sahabat, karena merekalah yang pertama sekali masuk Islam. Pujian ini juga diberikan kepada generasi sesudah mereka yang mengikuti langkah-langkah para sahabat.
Alasan ini yang mereka kemukakan adalah sabda Rasulullah SAW, yaitu sahabatku ibarat bintang, siapapun kamu ikuti, maka kamu akan mendapat petunjuk. (H.R. Abu Daud). Dalam Hadits lain Rasulullah juga bersabda: Hendaklah kamu berpegang sunnahku dan sunnah khalifah yang empat sesudah saya…(H.R. Abu Daud dan Ahmad ibn Hanbal).
Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal, kedua sabda Rasulullah SAW. Itu secara jelas menunjukkan bahwa umat Islam diwajibkan untuk mengikuti sunnah para sahabat. Selanjutnya Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan bahwa adalah sangat mungkin apa yang dilakukan dan dikatakan para sahabat itu datangnya dari Rasulullah SAW., bahkan tidak sedikit pendapat mereka yang didasarkan kepada petunjuk Rasulullah SAW. Disamping itu, para sahabat tidak akan mengeluarkan pendapatnya kecuali dalam hal-hal yang amat penting.
Sebagian ulama Syafi’iyyah, Jumhur al-Asya’irah, Mu’tazilah dan Syi’ah mengatakan bahwa pendapat sahabat itu tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum, karena ijtihad mereka sama denga ijtihad ulama lainnya yang tidak wajib diikuti mujtahid lain. Dalam penelusuran terhadap pendapat para sahabat, ditemukan bahwa sebagian pendapat mereka didasarkan kepada ijtihad, dan terjadinya kesalahan dalam ijtihad itu bukanlah suatu yang mustahil, karena tidak ada jaminan bahwa mereka tidak akan salah dalam melakukan ijtihad. Adakalanya para sahabat berbeda pendapat dalam menetapkan hukum pada suatu kasus.
Imam Al-Ghazali mengatakan, “Terhadap pendapat orang yang tidak terlepas dari suatu kesalahan dan kelalaian, pendapatnya tidak bisa dijadikan hujjah, karena mereka bukanlah orang yang ma’shum (terhindar dari kesalahan). Para sahabat sendiri sepakat untuk berbeda pendapat, sehingga Abu Bakar Bin ‘Umar ibn Khathab membiarkan saja orang-orang yang tidak sependapat dengannya, bahkan mereka menganjurkan agar setiap sahabat beramal sesuai dengan hasil ijtihadnya masing-masing”.
Akan tetapi, Imam al-Syafi’I, menurut Mushthafa Dib al-Bugha, banyak mengambil pendapat para sahabat, bahkan ijma’ yang ia terima sebagai dalil dalam menetapkan hukum adalah ijma’ yang dilakukan para sahabat. Disamping hukum-hukum parsial yang diambilnya dari pendapat para sahabat. Misalnya, apabila terjadi perbedaan pendapat para sahabat, Imam al-Syafi’I mengambil pendapat sahabat yang lebih dekat kepada kandungan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, seperti pendapat ibn ‘Abbas tentang tidak diterimanya kesaksian seorang anak kecil. Dalam hubungan ini Imam al-Syafi’I mengatakan pendapat ibn ‘Abbas lebih dekat kepada al-Qur’an dan qiyas, Imam al-Syaafi’I juga mengambil pendapat seorang sahabat yang tidak diketahui apakah disetujui atau tidak oleh sahabat lain, seperti pendapat Utsman ibn ‘Affan tentang hilangnya kewajiban shalat jum’at apabila bertepatan dengan hari raya ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha. Tidak diketahui pendapat sahabat lain-setuju atau tidak-berkaitan dengan pendapat Utsman ibn ‘Affan ini. Pendapat sahabat seperti ini dapat diterima oleh ulama Syafi’iyyah.
Ulama Hanifiyyah membedakan antara pendapat sahabat yang sama sekali bukan permasalahan ijtihadiyyah dengan pendapat para sahabat yang populer (tersebar luas) dan tidak diketahui adanya sahabat lain yang tidak menyetujui pendapat tersebut, serta pendapat sahabat yang didasarkan kepada ijtihad tetapi tidak populer.
Apabila pendapat tersebut bukan dalam masalah ijtihadiyyah dan tidak diketahui adanya sahabat lain yang tidak menyetujuinya, menurut ulama Hanafiyyah, pendapat itu dapat diterima sebagai hujjah dalam menetapkan hukum syara’. Alasan mereka adalah, dalam permasalahan yang tidak boleh dilakukan ijtihad, para sahabat tidak mungkin melakukan ijtihad terhadap permasalahan itu. Juga diduga keras bahwa pendapat itu muncul dari petunjuk atau sikap Rasulullah SAW. Pendapat seperti ini, menurut ulama Hanafiyyah, statusnya sama dengan Sunnah Taqririyyah (pengakuan Rasulullah SAW. Terhadap perbuatan para sahabat). Terhadap pendapat sahabat yang didasarkan kepada hasil ijtihad mereka dan pendapat tersebut tersebar luas dikalangan sahabat serta tidak diketahui ada sahabat lain yang tidak menyetujuinya, maka pendapat seperti ini, menurut ulama Hanafiyyah, dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum. Menurut mereka, pendapat sahabat dalam kategori kedua ini sama statusnya dengan ijma’ sukuti (kesepakatan yang terbentuk dari pendapat seorang mujtahid sedangkan mujtahid lainnya tidak membantah atau diam saja). Ulama Hanafiyyah berprinsip bahwa ijma’ sukuti dapat dijadikan hujjah alam menetapkan hukum syara’. Misalnya, pendapat Abu Bakar tentang bagian warisan nenek sebanyak seperenam harta waris. Apabila pendapat para sahabat itu didasarkan kepada hasil ijtihadnya dan tidak populer, ulama Hanafiyyah tidak menjadikannya sebagai hujjah. Terhadap permasalahan ini seluruh ulama ushul fiqh sepakat untuk menolaknya. Dalam hubungan inilah Imam Abu Hanifah mengatakan, “Mereka itu (sahabat) laki-laki (pahlawan, mujtahid) kita juga laki-laki.
E. Dalil-Dalil tentang Madzhab Shahabi
Dalam menetapkan fatwa-fatwa Shahabat sebagai hujjah, jumhur fuqaha mengemukakan beberapa argumentasi, baik dengan dalil aqli maupun dalil naqli. Adapun dalil-dalil naqli adalah sebagai berikut :
1. Firman Allah SWT. Yang Artinya :
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah”. (At-Taubah : 100).
2. Sabda Rasulullah SAW. Yang berbunyi :
“Saya adalah kepercayaan (orang yang dipercayai) shahabatku, sedangkan shahabatku adalah kepercayaan para umatku”.
Kalau kita lihat dari dalil naqli yang pertama (firman Allah dalam surat at-Taubah : 100), sungguh allah swt. Telah memberikan apresiasi bagi orang yang mengikuti para Shahabat. Maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kita diperintahkan untuk mengikuti petunjuk-petunjuk mereka, dan oleh karena itulah fatwa-fatwa mereka dapat juga dijadikan hujjah.
Adapun pada dalil naqli yang ke-dua (hadits Nabi), kepercayaan umat kepada shahabat berarti menjadikan fatwa-fatwa shahabat sebagai bahan rujukan karena kepercayaan shahabat kepada Nabi berarti kembalinya mereka kepada petunjuk Nabi Muhammad SAW.Sedangkan argumentsi yang bersifat akal atau rasional (dalil aqli) ialah :
a. Para Shahabat adalah orang-orang yang lebih dekat kepada Rasulullah SAW. dibanding orang lain. Dengan demikian, mereka lebih mengetahui tujuan-tujuan syara’, lantaran mereka menyaksikan langsung tempat dan waktu turunnya Al-Qur’an, mempunyai keikhlasan dan penalaran yang tinggi, ketaatan yang mutlak kepada petunjuk-petunjuk Nabi, serta mengetahui situasi di mana nash–nash Al-Qur’an diturunkan. Oleh karena itu, fatwa-fatwa mereak lebih layak untuk diikuti.
b. Pendapat-pendapat yang dikemukakan para Shahabat sangat mungkin sebagai bagian dari sunnah Nabi dengan alasan mereka sering menyabutkan hukum-hukum yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW. tanpa menyebabkan bahwa hal itu datang dari Nabi, karena tidak ditanya sumbernya. Dengan kemungkinan tersebut, di samping pendapat mereka selalu didasarkan pada Qiyas atau penalaran maka pandangan mereka lebih berhak untuk diikuti, karena pandangan tersebut kenungkinan besar berasal dari nash (hadits) serta sesuai dengan daya nalar rasional.
c. Jika pendapat para Shahabat didasarakan pada Qiyas, sedang para Ulama yang hidup sesudah mereka juga nenetapkan hukum berdasarakan Qiyas yang berbeda dengan pendapat Shahabat, maka untuk lebih berhati-hati, yang kita ikuti adalah pendapat para Shahabat karena Rasulullah SAW. bersabda :
“Sebaik-baik generasi, adalah generasiku di mana aku diutus oleh Allah dalam generasi tersebut”.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas nampak bagi kita akan esensi syariat umat terdahulu, yang mana kandungannya ada yang menyocoki dan diakui oleh al-Qur’an dan al-Sunnah syariat kita dan ada juga yang menyalahi. Syar’u Man Qablana adalah setiap hukum yang disyari’atkan Allah pada umat-umat terdahulu melalui pelantara setiap rasul, Nabi SAW megikuti syariat Nabi Ibrahim AS sbelum mendapat kitab al-Qur’an Hakikat syar’u man qablana pada intinya adalah adanya upaya dalam memahami syari’at-syari'at terdahulu sebelum syari’at Nabi Muhammad (Islam), syari’at Nabi Muhammad adalah penutup segala syari’at yang diturunkan Tuhan. Syar’u Man Qablana ada tiga macam bentuknya, yang di nasakh, yang di lanjutkan dan yang di biarkan saja. Ada beberapa pandangan dalam memahami syar'u man qablana. Ada yang memahaminya sebagai pembatas (takhsis), nasikh dan bahkan sebagai metode, tetapi semua ini berkaitan dengan keberlakuan syari'at umat terdahulu, apakah ia masih berlaku atau sudah dibatalkan berdasarkan dalil normatif dalam Alqur’an yang secara tegas menyebutkan hal tersebut. Selain itu, ada juga ketentuan syar'u man qablana yang ditulis kembali dalam Alqur’an tetapi tidak ditemukan ayat lain yang memberlakukan atau membatalkannya. Terhadap permasalahan ini, terjadi perbedaan pandangan, ada yang memandang hal tersebut sebagai syari'at Islam ada pula yang memandang sebaliknya.
Madzhab Shahabi berarti “pendapat para sahabat Rasulullah SAW. Yang dimaksud dengan Madzhab Shahabat(pendapat sahabat) ialah pendapat para sahabat yang tentang suatu kasus yang dinukil para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadits tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut. Disamping belum adanya ijma para sahabat yang menetapkan hukum tersebut. Persoalan yang dibahas oleh para ulama ushul fiqh adalah, apabila pendapat para sahabat itu diriwayatkan dengan jalur yang shahih, apakah wajib diterima, diamalkan, dan dijadikan dalil?
DAFTAR PUSTAKA
Drs. H. Nasrun Haroen, M.A. “Ushul Fiqh” Jakarta: Logos Publishing. 1992. Hal. 156
Syafi’I,Rahmat, 2007 Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung
Umam, Chaerul, dkk, 2000, Ushul Fiqih 1, Pustaka Setia, Bandung
Zahrah, Al-Imam Muhammad Abu, 1957, Ushul Fiqh, Darul Fikri Al-Arabi
0 Response to "Sar'u mangkoblana"
Post a Comment